Kearifan Seorang Ibu

Ibuku adalah ibu yang dilahirkan di zaman Jepang . Namun, beliau memiliki wawasan yang luas . Bahkan dalam usia belia, beliau pernah mengeyam pendidikan di Hongkong. Orangtua ibuku yang moderat, membuat ibu juga menjadi moderat dalam berkata,bertindak dan berpikir. 

Ketika melahirkan diriku, usia beliau sudah tidak lagi muda, bahkan disebut usia yang rawan untuk melahirkan. Aku anak kedua dan bungsu. Tapi perbedaan umur antara aku dan kakakku cukup besar yaitu 12 tahun. Perbedaan umur itu membuat ibuku cukup kewalahan dalam menangani “gap generation” antara kakak dan adik. 

Terlalu memperhatikan diriku, takut dianggap memanjakan. Tidak diperhatikan, aku ternyata aku merasa ingin dianggap si bungsu yang perlu diperhatikan. Tanggapan beliau selalu arif dalam hal pendidikan, bijak dalam memperlakukan dua keinginan ,sikap dan karakter dua anaknya yang berbeda. 

Sikap hati yang tidak baik dari diriku, membuat aku bertanya kepada beliau. 
“Ibu kenapa ibu mengirimkan kakak belajar di luar negeri. Sedangkan aku harus belajar di akademi agar supaya aku cepat selesai belajar dan bekerja.” 

“Nak, setiap anak itu punya kemampuan dan kebutuhan yang berbeda. Ibu tak bisa samakan dirimu dengan kakak. Kakak itu perlu belajar ke sana karena dia tak bisa lulus jika dia berada di sini. Kondisinya genting bagi kakak, jika dia tak berangkat.”

 “Iya, tapi kenapa ibu tak beri kesempatan saya untuk masuk universitas?”

 “Umur kami sudah tua, papah sudah pensiun, saya tak bisa mengongkosi dirimu untuk pendidikan tinggi. Jika kau cepat lulus dan bekerja, kamu bisa melanjutkan studi dengan hasil kerjamu.”

 Wow, ternyata saya sekarang baru sadar bahwa ibu saya itu sangat arif sekali dalam berpikir ke depan. 

Sekali waktu saya yang masih single, masuk rumah sakit di Jakarta karena tipus. Saya tak memberitahukan hal ini kepada ibu saya yang tinggal di daerah. Takut merepotkan karena beliau sudah sangat sepuh. Namun, suatu hari saya kaget luar biasa karena tiba-tiba beliau muncul di kamar tidur saya di rumah sakit beserta seorang teman yang juga sudah agak tua. Saya kaget kenapa ibu datang. 

“Kok ibu datang, siapa yang kabari?”

 “Teman baikmu."

"Tidak usah datang karena aku sudah hampir sembuh!”

 “Ibu lebih lega jika melihat keadaan dirimu sebenarnya, bukan mendengar dari orang lain. Tidak ada yang merepotkan bagi seorang ibu.” 

Ach, aku sadar seorang ibu tak merasa direpotkan karena fungsinya yang sangat mulia justru memperhatikan ketika aku sakit. Sementara aku berpendapat beliau itu lebih repot karena kondisinya dan juga beliau tidak tahu kota Jakarta sama sekali. Namun, dengan keberanian dan semangat untuk bertemu itu membuat dirinya berangkat ke Jakarta tanpa diantar siapa pun. 

Tulisan ini dipersembahkan bagi almarhum ibuku dan seorang ibu teman dekat saya yang selalu jadi inspirasi saya.  Tulisan ini dibuat dalam rangka GA Sejuta Kisah Ibu

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman